By : Vee_Nus
Sorry for typo & kata yang hilang 🙏
❄️❄️❄️💙💙💙❄️❄️❄️
Suatu hari di sore hari nan mendung, tampak wanita separuh baya memanggil putra putrinya tuk pulang, takut mereka kehujanan jika kelamaan main di halaman surau (sejenis masjid tapi tidak bisa digunakan untuk sholat Jumat di sana) bersama beberapa orang anak tetangganya yang rumahnya tidak begitu jauh dari lokasi surau.
Kebetulan rumah mereka berada di seberang jalan surau.
"Bentar lagi!" Sahut si kakak, saat ini mereka main petak umpet.
"Nggak ada sebentar lagi, pulang sekarang!" Balas si ibu garang akibat berang (marah)
"Yah ibu, lagi asyik ini!" Rutuk si bungsu dengan bibir manyun nan kelihatan lucu.
"Pulang!" Satu kata dari ibu mereka yang dengan berat hati dituruti oleh kedua anaknya. Ibu itu wanita paling cantik di dunia tapi juga wanita paling mengerikan di dunia, presiden mah lewat!
"Kakak adek sudah mandi?" Tanya Uni, anak pertama di keluarga ini. Dia sedang menyapu lantai rumah dan itu hampir selesai.
"Sudah!" Jawab si kakak sambil membimbing tangan si adek, dia mau mengajak si adek main petak umpet di rumah, berdua saja.
Di kursi kayu panjang itu, tampak si kakek duduk sambil membaca Alquran kecil yang selalu dia bawa kemana-mana, dia lagi menunggu waktu Maghrib masuk.
Walaupun dia sudah tua, dia tidak membutuhkan kacamata untuk membaca Alquran kecil itu, ajaib kan!
"Ajo, main petak umpet yuk!" Ajak si kakak untuk putra ke tiga di keluarga yang memiliki anak 5. Tiga putra dan dua putri. Dia mengajak Ajo karena main petak umpet berdua ternyata kurang asyik.
"Nggak malas!" Tolaknya tanpa mengalihkan pandangan matanya dari benda petak empat yang di sebut televisi. Dimana tidak semua orang memiliki televisi di kampung ini.
Ajo lagi nonton film yang sama sekali belum dimengerti oleh si kakak dan adek apa asyiknya menonton daripada bermain.
Si kakak berdecak kesal hingga akhirnya permainan petak umpet mereka tetap dilanjutkan dengan dua orang.
"Assalamualaikum!" Seru anak kedua baru pulang dari menggembala sapi, dia langsung melesat ke kamar mandi yang kebetulan si ayah baru saja keluar dari kamar mandi. Usia dia baru 14 tahun. Anak kedua dipanggil Uda oleh adik-adiknya.
Kakak adek tertawa cekikikan di sore hari yang mulai memasuki waktu senja.
Tawanya semakin keras semenjak Uda dan Uni ikut main petak umpet, dua orang itu memang selalu menemani adik-adiknya main walaupun diantara mereka Uda lah yang paling tampak garang, pria pendiam nan dingin.
Tik
Tik
Tik
Air hujan mulai jatuh, belum lebat, baru gerimis di senja hari namun belum masuk waktu sholat Maghrib.
Tawa renyah mereka ternyata mengusik si kakek yang lagi menunggu waktu sholat Maghrib.
"Kakek punya permainan yang lebih menyenangkan daripada main petak umpet! Lebih mendebarkan" Ucap si kakek santai ketika dia melihat seekor lalat hijau yang terbang memasuki rumah mereka, padahal rumah mereka bersih, bebas dari bau busuk. Aneh.
Uni yang pada dasarnya memiliki rasa keingintahuan nan tinggi pun bertanya kepada kakek.
"Main menangkap lalat hijau dengan kendi!" Jelas si kakek berwajah ramah seperti biasanya, karena memang begitulah dia, ramah nan merendah hati.
"Apa asyiknya main menangkap lalat hijau kek?" Tanya Ajo sepertinya tertarik dengan permainan yang dikatakan oleh si kakek. Penasaran dia.
Kakek tersenyum penuh arti kepada semua cucunya yang duduk dibawah, menatap penuh harap kepada dia, dia sangat di sayang oleh semua cucunya, orang yang mengajarkan cucu-cucunya mengaji serta cerita hidup yang bagi cucunya sangat luar biasa apalagi cerita mengenai Rasulullah SAW.
Kakek meminta Uni mengambil kendi bersih. Tidak butuh waktu lama bagi Uni untuk mengambil kendi tersebut.
"Jika kalian menangkap lalat hijau terus kalian masukkan kedalam kendi, lalu kalian tutup rapat tutupnya sehingga si lalat tidak bisa keluar. Tunggu sebentar, dan setelahnya... Kalian akan melihat sesuatu yang di luar akal sehat!" Jelas si kakek sembari memeragakan bagaimana cara melakukannya.
Mereka mengangguk mengerti, karena mereka penasaran apa yang akan terjadi ketika lalat hijau itu di tangkap, mereka pun mulai mengejar lalat hijau tadi yang ternyata masih ada di dalam rumah.
Karena begitu asyiknya mereka main menangkap lalat hijau, anak dari ande (bibi, adik dari ibu mereka) datang dan ikut nimbrung menangkap lalat hijau. Mereka tetanggaan.
Tidak butuh waktu lama bagi mereka tuk menangkap lalat hijau.
"Sudah kami tangkap!" Kata Ajo semangat sambil memeluk kendi yang tertutup rapat. Mereka sudah berada lagi di sekeliling kakeknya.
Lagi-lagi si Kakek tersenyum penuh arti.
"Letakkan saja di sini! Mari sholat, waktu Maghrib sudah masuk!" Ajak si kakek sambil mengusap sayang kepala Ajo, saat ini azan Maghrib tengah berkumandang.
Mereka mengangguk dan berlari cepat ke surau menyusul orang tua mereka yang tentu saja sudah membawa peralatan sholat mereka.
Mereka berlari cepat karena hari masih gerimis. Si kakek hanya berjalan sambil memegang payung hitam besar bersama si kakak sembari mendengarkan celotehan kakak yang sudah tidak sabar dengan apa yang akan terjadi tentang lalat hijau yang mereka tangkap tadi. Betapa antusiasnya si kakak ketika bercerita dan itu tampak jelas dari mimik wajahnya nan sudah nampak keelokan parasnya sekalipun dia masih kecil.
10 menit kemudian mereka selesai sholat Maghrib, namun orang tua mereka dan kakek masih di surau, mereka masih dzikir sholawat dan berdoa.
Saat ini mereka sedang mengelilingi kendi berisi lalat hijau tadi, ternyata lalatnya masih hidup di dalam sana padahal kendinya tertutup rapat.
Suasana hening sehingga suara tangis yang terdengar sayup-sayup pun terdengar jelas di indera pendengaran mereka walaupun di sela gerimis senja yang mulai berganti menjadi langit hitam.
Mereka saling melirik dengan penuh tanda tanya diwajahnya. Aneh, karena suaranya bikin bulu roma merinding.
Siapa yang kira-kira menangis? Padahal diantara mereka tidak ada yang menangis.
Mereka berdiri, mencari sumber suara tangisan yang semakin lama semakin terdengar jelas.
Ajo yang pada dasarnya cerewet, memanggil teman-temannya yang rumahnya tepat di samping surau berada.
"Jamal... Apa adikmu menangis?" Tanya Ajo kepada temannya.
"Tidak!" Sahut temannya yang ternyata juga mendengar suara tangisan terisak meyayat hati itu.
Kakak adek yang pada dasarnya peka, mulai merasakan tidak nyaman dengan suhu dan keadaan di sekitar rumah mereka, hening nan senyap, dingin tapi menusuk.
Mereka semakin penasaran siapa yang menangis keras di tengah Maghrib nan basah ini.
Suara tangisan itu semakin lama semakin keras menuju rumah mereka.
Saat mereka semua berada di teras rumah mengingat suara tangisan itu terdengar di luar rumah mereka.
Sangat keras, sehingga mereka yakin kalau pemilik suara itu anak laki-laki yang sebaya dengan Ajo.
Si adek sudah sembunyi di balik punggung kakak yang hanya dua tahun beda usia mereka, si kakak masih 8 tahun.
"Adek lihat apa?" Tanya si kakak kepada adek yang sudah menciut ketakutan.
Adek tidak bicara, dia hanya menunjuk lurus tepat kearah anak laki-laki yang saat ini mengitari rumah mereka, dia ingin masuk tapi tidak bisa sehingga jadilah dia hanya berputar-putar mengelilingi rumah mereka.
Secara perlahan-lahan namun pasti, mereka semua melihat sosokanak laki-laki berseragam SD tanpa kepala yang berlari mengitari rumah mereka sembari menangis meyayat hati.
Mereka mematung diam, tapi tidak dengan si kakak dan adek. Dua orang anak kecil ini sudah menangis memanggil ayah ibu mereka.
Sosok itu terlalu mengerikan bagi mereka. Padahal kepalanya tidak ada, namun tubuh bersimbah darah itu dapat berlari mengitari rumah mereka.
Tanpa pikir panjang, Uda langsung melepaskan lalat hijau yang mereka tangkap tadi sehingga sosok itupun menghilang dari pandangan mata mereka begitu juga dengan suara tangisannya.
"Sudah nampak?" Tanya kakek bernada santai kepada mereka yang sudah berhasil mendiamkan kakak dan adek.
"Permainan kakek nggak lucu!" Kutuk Ajo dan Uni yang membuat kakeknya tertawa sehingga jenggot putihnya bergoyang.
"Apa yang kalian lihat?" Tanya kakek yang sudah berhenti tertawa.
"Anak laki-laki tanpa kepala!" Jelas Uda bernada kesal namun tidak kelihatan karena wajahnya yang selalu datar sehingga membuat dia semakin tampak garang. Padahal kulit gelap dan alis tebal naiknya sudah membuat dia tampak tidak bersahabat dan sekarang dia malah memasang wajah datar tanpa ekspresi.
Si kakek kembali tertawa.
"Lalu mana lalat itu?"
"Sudah Uda lepas, dia membuat kakak adek menangis!" Balas Uda apa adanya. Dia berkacak pinggang.
"Dibuang kan, tidak di bunuh?"
"Ho'oh!" Sahut Uda yang tidak mau lagi banyak kata. Dia sudah malas meladeni candaan kakeknya yang terkadang ekstrim.
"Memangnya kenapa jika dibunuh kek?" Tanya Uni kepo.
Kakek tidak menjawabnya, dia hanya tersenyum, senyum yang penuh arti. Dia memang sulit ditebak, pikirannya selalu lain dan aneh namun sangat efektif untuk menyelesaikan masalah.
❄️❄️❄️💙💙💙❄️❄️❄️
The End